DOAPARAWALI.or.id - Bajingan, kini lebih dikenal sebagai istilah yang memiliki konotasi negatif dan sering digunakan sebagai kata makian. Namun, sedikit yang menyadari bahwa pada masa lalu, bajingan adalah profesi yang mulia.
Bajingan adalah
sebutan bagi para kusir gerobak sapi, sebuah profesi yang telah ada sejak zaman
Mataram Islam pada abad ke-16 Masehi di Indonesia. Profesi ini merupakan salah
satu warisan kearifan lokal yang telah berlangsung sejak zaman dahulu dan
menjadi bagian penting dalam mobilitas atau transportasi masyarakat Mataram,
termasuk wilayah Yogyakarta dan eks-Karesidenan Surakarta.
Pada masa Kerajaan
Mataram, sapi sangat disukai, dan gerobak sapi berasal dari era tersebut yang
sudah mengadopsi ajaran Islam. Bajingan memainkan peran penting dalam membawa
manusia dan hasil panen masyarakat. Pada masa penjajahan Hindia-Belanda,
transportasi mewah hanya diperuntukkan bagi pejabat Eropa, sedangkan masyarakat
pribumi, terutama yang berada dalam ekonomi menengah ke bawah, menggunakan
gerobak sapi yang ditarik oleh bajingan untuk beraktivitas sehari-hari.
Setelah kemerdekaan,
peran bajingan juga berkembang untuk mengangkut material seperti truk pada
zaman sekarang. Hingga saat ini, tradisi paguyuban bajingan masih dilestarikan
oleh masyarakat Bantul, Yogyakarta.
Penelitian berjudul
"Konstruksi Makna Kata Bajingan (Studi Etnografi
Perubahan Makna Kata Bajingan dalam Komunitas Kusir Gerobak Sapi di Bantul
Yogyakarta)" mengungkapkan
bahwa pada awalnya, bajingan memiliki konotasi yang positif dan dianggap
sebagai profesi yang baik dan mendekatkan diri dengan Tuhan.
Meskipun sekarang
istilah bajingan telah berubah arti menjadi negatif, penting untuk mengenang
dan menghargai sejarah mulia profesi ini dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Desanti Arumingtyas
Dyanningrat dalam Perancangan Buku Nilai Sejarah Dan Filosofi Mataram Islam
Pada Gerobak Sapi menjelaskan bahwa dalam kultur budaya Jawa kusir gerobak sapi
disebut 'bajingan', singkatan dari bagusing jiwo angen-angening pangeran.
"Artinya orang
baik yang dicintai Tuhan," tulis Desanti.
"Mulianya, pada
saat perjuangan kemerdekaan, bajingan jadi salah satu opsi dalam perang geilya
untuk persembunyian para pejuang dibalik rumput dan hasil panen dalam
gerobaknya," kata dia.
Lalu, kenapa bajingan
sekarang jadi kata makian?
Pergeseran makna
bajingan
Merunut pergeseran
makna bajingan dari profesi mulia hingga mulai jadi kata makian bisa ditelisik
dari tulisan Multatuli.
Dalam bukunya berjudul
Max Havelaar terbitan tahun 1860, kata bajingan mulai berkonotasi negative.
"Nak, jika mereka
memberitahumu bahwa aku adalah bajingan yang tidak memiliki keberanian
melakukan keadilan, bahwa banyak ibu yang meninggal karena kesalahanku…"
tulis Multatuli.
Penggunaan kata
'bajingan' sebagai bentuk umpatan ternyata mulai terjadi sejak abad ke-19. Pada
awal 1900 hingga 1940-an, bajingan sangat populer di Jawa, namun seiring waktu,
kendaraan ini menjadi langka terutama di wilayah pelosok Yogyakarta.
Masyarakat sering
menggunakan gerobak sapi atau kerbau yang ditarik oleh bajingan untuk
perjalanan ke kota, baik untuk berdagang, sekolah, maupun bekerja. Meskipun
transportasi ini jarang ditemui, namun perjalanannya lambat dan tidak dapat
diprediksi waktu kedatangannya.
Banyak calon penumpang
yang mengeluh karena harus menunggu lama. Mereka sering mengatakan
"Bajingan kok suwe tekone" (Bajingan kok lama datangnya), atau
"Bajingan gaweane suwe!" (Bajingan lambat kerjanya/jalannya).
Keluhan-keluhan
tersebut kemudian mengubah makna kata 'bajingan' menjadi kata umpatan atau
makian, karena seringkali para calon penumpang merasa kecewa dengan
keterlambatan dan ketidakpastian dari bajingan.
Seiring dengan
kemajuan teknologi dan perkembangan alat transportasi di Indonesia, banyak
masyarakat yang beralih menggunakan sarana transportasi yang lebih modern.
Akibatnya, profesi bajingan semakin langka, terutama di wilayah Jawa.
Posting Komentar untuk "KOSAKATA "BAJINGAN" ASLINYA UNTUK PROFESI MULIA"