DOAPARAWALI.or.id - Kekuasaan, jika kita salah menyikapinya, maka ia bagaikan candu yang memabukkan dan merusak. Ketika seseorang meraih kekuasaan, seringkali ia terjebak dalam lingkaran yang mempengaruhi perilaku dan pikirannya. Kekuasaan memiliki daya tarik yang kuat, tetapi pada saat yang sama, ia juga dapat menjadi racun yang mempengaruhi integritas dan moralitas individu.
Seiring berjalannya waktu, orang yang terbuai pada kekuasaan cenderung kehilangan kontrol dan mengorbankan segalanya demi mempertahankan atau memperluas kekuasaannya. Kekuasaan memiliki potensi untuk melumpuhkan akal sehat dan membawa orang ke dalam keadaan ketagihan dan sakau yang berbahaya. Seperti halnya candu, kekuasaan bisa memberikan sensasi kepuasan dan kebanggaan yang luar biasa kepada individu yang merasakannya.
Namun, semakin seseorang terjebak dalam lingkaran kekuasaan, semakin ia tergantung padanya dan semakin ia menginginkan kekuasaan yang lebih banyak. Dalam prosesnya, nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dahulu dijunjung tinggi mungkin terabaikan dan digantikan oleh ambisi pribadi yang tak terpuaskan. Abraham Lincoln mengatakan, "Karakter seseorang dapat dilihat dengan jelas ketika ia memiliki kekuasaan." Kekuasaan menguji karakter seseorang, dan seringkali menyebabkan jatuhnya individu-individu yang dulunya dihormati dan dianggap sebagai pemimpin yang hebat.
Tidak jarang kita melihat contoh-contoh
dalam sejarah di mana individu yang meraih kekuasaan absolut menjadi korban
candu kekuasaan tersebut. Mereka terjebak dalam siklus manipulasi, penindasan,
dan korupsi yang merusak moralitas dan integritas mereka. Itulah kenapa John Dalberg-Acton,
yang lebih dikenal dengan Lord Acton, seorang ahli sejarah dan politisi Inggris
abad ke 19, pernah berkata, "Kekuasaan cenderung memabukkan, dan kekuasaan
mutlak cenderung memabukkan secara mutlak." Ungkapan ini menggambarkan
betapa kuatnya daya tarik kekuasaan dan bahayanya jika tidak diawasi dengan
bijak. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang, semakin besar pula
potensi kecanduan dan kerusakan yang dapat ditimbulkannya.
Inilah kemudian Lord Acton terkenal dengan
perkataannya “Power tends to corrupt”. Ketika kekuasaan tidak terkendali,
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi lebih mungkin terjadi, mengancam
kestabilan dan keharmonisan masyarakat, menimbulkan ketidakseimbangan dalam
sistem kekuasaan, mengancam demokrasi dan keadilan.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk
memahami bahwa kekuasaan harus diimbangi dengan akuntabilitas dan kontrol yang
tepat. Individu yang memiliki kekuasaan harus selalu mengingat bahwa kekuasaan
itu adalah amanah yang harus digunakan untuk kepentingan yang lebih besar
daripada diri sendiri.
Namun, kekuasaan, dengan segala daya tarik
dan godaan yang melekat padanya, seringkali menjadi jebakan yang merugikan
manusia. Saat seseorang meraih posisi berkuasa, ada risiko besar bahwa hati
nurani mereka perlahan-lahan tergerus dan mereka mulai merasa selalu paling
benar. Mereka mungkin merasa kebal terhadap hukum dan kehilangan rasa empati
terhadap sesama manusia. Dalam beberapa kasus ekstrem, individu yang
terperangkap dalam jebakan kekuasaan bahkan mungkin merasa lebih besar daripada
Tuhan sendiri. Fenomena ini menggambarkan betapa merusaknya kekuasaan yang
tidak diimbangi dengan rasa tanggung jawab dan pengendalian diri.
Ketika seseorang mendapatkan kekuasaan yang
besar, sangat mudah bagi mereka untuk terbuai oleh pemikiran bahwa mereka
memiliki kebenaran absolut. Dalam konteks ini, saya teringat dengan apa yang
ditulis oleh seorang filsuf inggris bernama Bertrand Russell, "Kekuasaan
bukanlah alasan untuk meyakini bahwa seseorang memiliki kebenaran."
Kekuasaan bukanlah indikator kebenaran, namun seringkali orang yang memiliki
kekuasaan cenderung menganggap pendapat dan keputusan mereka sebagai yang
paling benar, tanpa mempertimbangkan sudut pandang lain atau menerima kritik
konstruktif. Akibatnya, mereka kehilangan hati nurani dan mempersempit sudut
pandang mereka.
Selanjutnya, jebakan kekuasaan seringkali
membuat individu merasa kebal terhadap hukum. Dalam beberapa kasus, orang-orang
yang berkuasa bisa menggunakan kekuasaan mereka untuk menghindari
pertanggungjawaban hukum atau melanggar hukum dengan tanpa rasa takut. Mereka
merasa terlindungi dan di atas hukum yang seharusnya sama bagi semua orang.
Terang saja hal ini bertentangan dengan prinsip dasar keadilan dan kesetaraan
dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, "Tidak ada
manusia yang berada di atas hukum atau di atas keadilan." Setiap individu,
termasuk mereka yang memiliki kekuasaan, tetap berada di bawah otoritas hukum
dan prinsip-prinsip moral yang universal.
Akibat dari ini, kekuasaan malah
menyebabkan hilangnya rasa empati terhadap sesama manusia. Ketika seseorang
terjebak dalam lingkaran kekuasaan, mereka mungkin menjadi terlalu terfokus
pada kepentingan pribadi atau kelompok mereka sendiri. Mereka bisa mengabaikan
penderitaan dan kesulitan orang lain, bahkan mengambil keputusan yang merugikan
banyak orang demi kepentingan mereka sendiri. Kehilangan rasa empati adalah
tanda bahwa hati nurani seseorang telah terkikis oleh jebakan kekuasaan.
Padahal, sejatinya, kekuasaan yang hakiki adalah tatkala seseoarng memiliki
kendali atas diri sendiri dan tetap memiliki empati dan kepedulian terhadap sesame
manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Dalai Lama, "Kekuasaan yang paling
besar adalah kekuasaan atas diri sendiri."
Mirisnya, dalam beberapa kasus ekstrem,
jebakan kekuasaan bahkan bisa membuat individu merasa lebih besar daripada
Tuhan. Mereka merasa tak terkalahkan, tak tergantikan, dan merasa bahwa mereka
berada di atas segalanya. Mereka mungkin menciptakan kultus pribadi atau
mengharapkan penghormatan dan pengabdian yang melebihi manusia biasa. Hal ini
adalah penyimpangan yang berbahaya, karena manusia tidak seharusnya
memposisikan diri mereka sebagai Tuhan atau melebihi batas kemanusiaan mereka.
Dan sesungguhnya, inilah bencana terbesar dari sakau kekuasaan.
Anda pasti tahu Spiderman. Dalam
salah satu scene di film tersebut, dia pernah diingatkan oleh Kakeknya Uncle Sam,
"Dengan kekuasaan yang besar, datanglah tanggung jawab yang besar."
Memiliki kekuasaan berarti memiliki tanggung jawab untuk bertindak dengan
integritas dan keadilan. Jadilah Spiderman… hehehe… ups. @
Illustrasi by Hippopx.com
Sofiandi, PhD, Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research Jakarta, IRDAK Institute of Singapore, Asia-Pacific Journal on Religion and Society, Institute for Southeast Asian Islamic Studies, Islamic Linkage for Southeast Asia, Dosen IAI Arrisalah, Anggota Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Badan Koordinasi Muballigh Indonesia Prov. Kepri, Anggota ICMI Prov. Kepri, Pemimpin Redaksi ACADEMICS TV, Direktur Swara Akademika Indonesia Foundation, Pembina Ikatan Wartawan Online Indonesia Prov. Kepri.
Posting Komentar untuk "KEKUASAAN: JEBAKAN CANDU YANG MEMABUKKAN DAN MERUSAK | Sofiandi, PhD"