DINAMIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA TAHUN 1959 HINGGA 1965 (Demokrasi Terpimpin)

 


DOAPARAWALI.or.id - Dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh politik Manipol Usdek. Bahkan, pemerintah sangat menyadari posisi pendidikan sebagai mekanisme rekayasa sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, tujuan dan upaya pendidikan tidak dapat dilepaskan dari konsep Manipol Usdek. Tujuan pendidikan adalah menanamkan jiwa yang memiliki kepemimpinan dalam membela dan mengembangkan Manipol Usdek. Hal ini tercermin dalam perubahan kurikulum dengan mata pelajaran Civics yang menjadi mata pelajaran utama di setiap jenjang pendidikan. Dalam mata pelajaran ini, ideologi yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno dimasukkan, sehingga Civics dapat dianggap sebagai awal ideologi dalam pendidikan Indonesia. Keberadaan mata pelajaran ini semakin diperkuat dengan adanya Tap MPRS dan GBHN yang menyatakan bahwa mata pelajaran tersebut wajib dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia.

Pada tahun 1959, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menjaga agar arah pendidikan tidak menuju kepada pembentukan manusia dengan paham liberal yang dianggap bertentangan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Salah satu tugas revolusi adalah membangun manusia Indonesia yang tidak terjerumus dalam mental "Liberal" dan yang bersandar pada mental Manipol Usdek. Oleh karena itu, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Prof. Dr. Prijono, mengeluarkan instruksi menteri yang dikenal dengan nama "Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana". Dalam pendidikan Pancawardhana ini, ditegaskan bahwa pendidikan mencakup prinsip-prinsip: perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan, perkembangan kecerdasan, perkembangan emosional artistik, perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan, dan perkembangan jasmani. Selain itu, sekolah juga diharapkan melaksanakan hari krida, yang merupakan hari untuk kegiatan ekstrakurikuler yang menekankan pada kegiatan fisik dan perasaan.

Dalam ketetapan Nomor XXVII tahun 1966 (TAP XXVII/MPRS/1966), ditetapkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah menghasilkan manusia pancasilasejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diinginkan oleh Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Sesuai dengan perubahan tujuan pendidikan nasional, kurikulum sekolah mengalami perubahan. Dikembangkan kurikulum baru yang dikenal dengan nama kurikulum 1968. Dalam kurikulum tersebut, mata pelajaran Civics diganti namanya menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan berbeda dengan Civics. Mata pelajaran ini meliputi sejarah, geografi, dan pengetahuan kewarganegaraan. Kemudian, mata pelajaran ini kemudian terbagi menjadi dua mata pelajaran dalam kurikulum 1975, yaitu Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pengetahuan kewarganegaraan menjadi bagian dasar dari PMP, sedangkan sejarah dan geografi menjadi bagian dari IPS.

Antara tahun 1959-1966, sistem pendidikan di Indonesia terdiri dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, dan pembagian ini masih berlaku hingga saat ini. Pada jenjang pendidikan menengah pertama, terdapat sekolah umum SMP, sementara pendidikan khusus dalam bidang tertentu ditawarkan oleh sekolah-sekolah seperti pendidikan teknik (ST), pendidikan ekonomi (SMEP), pendidikan kerumahtanggaan (AKKP), dan pendidikan guru (SGB). Namun, pada tahun 1984, pemerintah menghapuskan sekolah kejuruan dari jenjang pendidikan menengah pertama, sehingga tingkat ini hanya terdiri dari SMP saja. Sekolah guru bantu (SGB) sudah dihapuskan sebelumnya pada tahun 1961. Adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan guru sekolah dasar (SR) menyebabkan penghapusan SGB dan peningkatan jumlah sekolah guru SR (SGA). Dengan demikian, SGA yang sebelumnya menjadi SMP kemudian difokuskan untuk menghasilkan guru SR. Pada tahun 1990, SGA dihapuskan dan tugas menghasilkan guru sepenuhnya diserahkan kepada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) atau Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

Pada jenjang pendidikan menengah atas, terdapat sekolah umum SMA. Selain itu, terdapat pula sekolah kejuruan seperti sekolah menengah ekonomi (SMEA), sekolah teknik menengah (STM) dengan berbagai jurusan, sekolah kesejahteraan keluarga atas (SKKA), sekolah menengah olahraga atas (SMOA), dan sekolah guru atas (SGA). SGA kemudian diubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada tahun 1990. Perubahan nama dari SGA menjadi SPG terjadi pada awal tahun 1964. Di jenjang pendidikan tinggi, terdapat berbagai akademi, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Meskipun jenis-jenis institusi ini mengalami pasang-surut, UU No 2 tahun 1989 menjamin eksistensi semua jenis institusi yang ada pada periode 1959-1966. Pada waktu yang sama, penataan pendidikan tinggi dilakukan berdasarkan UU No 22 Tahun 1961 yang dikeluarkan atas nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Kurikulum SD mengalami perubahan yang disesuaikan dengan konsep Panca Wardhana. Dalam kurikulum ini, terdapat mata pelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan, keterampilan, dan rasa/karya sesuai dengan prinsip-prinsip Wardhana. Salah satu perubahan dalam kurikulum SD adalah pengenalan mata pelajaran yang disebut Pendidikan Kemasyarakatan. Mata pelajaran ini dianggap sebagai sarana untuk membentuk moralitas nasional/internasional dan keagamaan (dokumen kurikulum). Pendidikan Kemasyarakatan merupakan penggabungan mata pelajaran ilmu bumi, sejarah, dan kewarganegaraan.

Perubahan kurikulum yang signifikan terjadi pada jenjang SMP dan SMA. Pembagian jurusan A dan B di SMP dihapuskan. Mengingat bahwa siswa pada jenjang pendidikan menengah pertama masih terlalu muda untuk dipaksa memilih jalur A atau B, terlebih lagi pemilihan jalur tersebut dilakukan saat siswa akan naik ke kelas dua. Struktur kurikulum SMP terdiri dari kelompok dasar, kelompok cipta, kelompok rasa/karya, dan kelompok krisa. Struktur ini disesuaikan dengan keputusan Menteri terkait Panca Wardhana. Kelompok dasar memberikan pengetahuan melalui mata pelajaran seperti civics, Sejarah Nasional Indonesia, Bahasa Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan Agama/Budi Pekerti, dan Pendidikan Jasmani/Kesehatan.

Mata pelajaran seperti Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Hayat, dan Ekonomi termasuk dalam kelompok cipta, sementara mata pelajaran seperti Sejarah Dunia termasuk dalam kelompok cipta juga. Mata pelajaran dalam kelompok rasa/karya mencakup Drama dan Sastra. Pada tahun 1962, diperkenalkan sistem SMP dengan gaya baru yang bebas dari jalur tertentu. Pembagian jalur atau jurusan baru diterapkan di SMA setelah siswa menyelesaikan satu tahun di SMA. Oleh karena itu, SMA ini disebut juga sebagai SMA gaya baru. Di kelas dua dan tiga SMA, siswa dapat memilih salah satu dari empat jurusan, yaitu jurusan budaya, sosial, ilmu pasti, dan ilmu alam.

Kurikulum di SMA menetapkan bahwa siswa yang memilih jurusan sastra harus mempelajari bahasa asing seperti Jerman dan Perancis. Mata pelajaran seperti bahasa Jawa Kuno dan tulisan Arab Melayu termasuk dalam jurusan sastra. Sementara itu, dalam jurusan sosial terdapat mata pelajaran seperti ekonomi, tata buku, hukum dan tata negara, dan etnologi/sosiologi. Jurusan ilmu pasti memiliki mata pelajaran yang terkait dengan matematika seperti aljabar, ilmu ukur ruang, ilmu ukur bidang, sedangkan bagi siswa yang memilih jurusan ilmu alam akan mempelajari mata pelajaran seperti kimia, ilmu alam, ilmu tubuh manusia, ilmu hewan dan ilmu tumbuh-tumbuhan.

Di jenjang pendidikan dasar dan menengah, dilakukan ulangan setelah beberapa pertemuan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Namun, pada waktu itu tidak digunakan istilah formatif, sub-sumatif, atau sumatif. Tes tetap merupakan alat evaluasi utama di kedua jenjang pendidikan ini. Pemberian tugas hanya dianggap sebagai alat evaluasi tambahan. Meskipun demikian, prinsip evaluasi yang digunakan guru saat ini tidak berbeda secara prinsipil. Namun, pada waktu itu guru belum mengenal bentuk tes objektif. Soal yang digunakan masih berupa soal uraian (esai). Bentuk ini digunakan di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan dan terus digunakan tanpa perubahan bentuk hingga kemudian diperkenalkan bentuk tes objektif.

Fungsi ujian akhir sekolah pada waktu itu terutama untuk mereka yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pada tahun terakhir SD, siswa yang akan melanjutkan ke SMP diharuskan untuk mengikuti ujian negara. Hal yang sama berlaku bagi siswa yang ingin melanjutkan dari SMP ke SMA, sehingga pada waktu itu dikenal adanya siswa yang akan tamat sekolah dan siswa yang lulus dari suatu sekolah. Namun, keadaan seperti ini berubah di mana siswa diminta untuk mengikuti ujian akhir pendidikan dan setelah itu mengikuti ujian masuk suatu sekolah. Perubahan ini terjadi dari tahun 1970-1987, ketika kemudian diperkenalkan sistem Nilai Ebtanas Murni (NEM). Dengan model ini, siswa tidak perlu lagi mengikuti tes masuk untuk sekolah yang akan mereka ikuti. Skala nilai yang digunakan untuk mengapresiasi hasil yang diperoleh adalah dari 0-10. Skala ini masih digunakan hingga sekarang dan merupakan warisan dari pendidikan pada masa penjajahan Belanda.

Perubahan baru terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, ujian lisan masih dilakukan di perguruan tinggi meskipun pelaksanaannya terus berkurang. Dosen-dosen senior yang terbiasa dengan ujian lisan masih melaksanakannya, namun mereka mulai mendapatkan tekanan karena jumlah mahasiswa yang semakin banyak. Jumlah yang semakin bertambah membuat para dosen penguji harus menyediakan waktu yang banyak untuk menguji mahasiswa, sehingga ujian lisan hanya terbatas pada perkuliahan dengan jumlah mahasiswa yang sangat sedikit.@

Illustrasi by Wikimedia Commons

Posting Komentar untuk "DINAMIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA TAHUN 1959 HINGGA 1965 (Demokrasi Terpimpin)"