DOAPARAWALI.or.id - Dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh politik Manipol Usdek. Bahkan, pemerintah sangat menyadari posisi pendidikan sebagai mekanisme rekayasa sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, tujuan dan upaya pendidikan tidak dapat dilepaskan dari konsep Manipol Usdek. Tujuan pendidikan adalah menanamkan jiwa yang memiliki kepemimpinan dalam membela dan mengembangkan Manipol Usdek. Hal ini tercermin dalam perubahan kurikulum dengan mata pelajaran Civics yang menjadi mata pelajaran utama di setiap jenjang pendidikan. Dalam mata pelajaran ini, ideologi yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno dimasukkan, sehingga Civics dapat dianggap sebagai awal ideologi dalam pendidikan Indonesia. Keberadaan mata pelajaran ini semakin diperkuat dengan adanya Tap MPRS dan GBHN yang menyatakan bahwa mata pelajaran tersebut wajib dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia.
Pada tahun 1959, pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk menjaga agar arah pendidikan tidak menuju kepada pembentukan
manusia dengan paham liberal yang dianggap bertentangan dengan jiwa dan
semangat bangsa Indonesia. Salah satu tugas revolusi adalah membangun manusia
Indonesia yang tidak terjerumus dalam mental "Liberal" dan yang
bersandar pada mental Manipol Usdek. Oleh karena itu, Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan, Prof. Dr. Prijono, mengeluarkan instruksi menteri
yang dikenal dengan nama "Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana". Dalam
pendidikan Pancawardhana ini, ditegaskan bahwa pendidikan mencakup
prinsip-prinsip: perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air, moral
nasional/internasional/keagamaan, perkembangan kecerdasan, perkembangan
emosional artistik, perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan, dan
perkembangan jasmani. Selain itu, sekolah juga diharapkan melaksanakan hari
krida, yang merupakan hari untuk kegiatan ekstrakurikuler yang menekankan pada
kegiatan fisik dan perasaan.
Dalam ketetapan Nomor XXVII tahun 1966 (TAP
XXVII/MPRS/1966), ditetapkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
menghasilkan manusia pancasilasejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah
diinginkan oleh Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Sesuai dengan perubahan
tujuan pendidikan nasional, kurikulum sekolah mengalami perubahan. Dikembangkan
kurikulum baru yang dikenal dengan nama kurikulum 1968. Dalam kurikulum
tersebut, mata pelajaran Civics diganti namanya menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan berbeda dengan Civics. Mata
pelajaran ini meliputi sejarah, geografi, dan pengetahuan kewarganegaraan.
Kemudian, mata pelajaran ini kemudian terbagi menjadi dua mata pelajaran dalam
kurikulum 1975, yaitu Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS). Pengetahuan kewarganegaraan menjadi bagian dasar dari PMP,
sedangkan sejarah dan geografi menjadi bagian dari IPS.
Antara tahun 1959-1966, sistem pendidikan
di Indonesia terdiri dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, dan
pembagian ini masih berlaku hingga saat ini. Pada jenjang pendidikan menengah
pertama, terdapat sekolah umum SMP, sementara pendidikan khusus dalam bidang
tertentu ditawarkan oleh sekolah-sekolah seperti pendidikan teknik (ST),
pendidikan ekonomi (SMEP), pendidikan kerumahtanggaan (AKKP), dan pendidikan
guru (SGB). Namun, pada tahun 1984, pemerintah menghapuskan sekolah kejuruan
dari jenjang pendidikan menengah pertama, sehingga tingkat ini hanya terdiri
dari SMP saja. Sekolah guru bantu (SGB) sudah dihapuskan sebelumnya pada tahun
1961. Adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan guru sekolah dasar
(SR) menyebabkan penghapusan SGB dan peningkatan jumlah sekolah guru SR (SGA).
Dengan demikian, SGA yang sebelumnya menjadi SMP kemudian difokuskan untuk
menghasilkan guru SR. Pada tahun 1990, SGA dihapuskan dan tugas menghasilkan
guru sepenuhnya diserahkan kepada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
atau Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Pada jenjang pendidikan menengah atas,
terdapat sekolah umum SMA. Selain itu, terdapat pula sekolah kejuruan seperti
sekolah menengah ekonomi (SMEA), sekolah teknik menengah (STM) dengan berbagai
jurusan, sekolah kesejahteraan keluarga atas (SKKA), sekolah menengah olahraga
atas (SMOA), dan sekolah guru atas (SGA). SGA kemudian diubah menjadi Sekolah
Pendidikan Guru (SPG) pada tahun 1990. Perubahan nama dari SGA menjadi SPG
terjadi pada awal tahun 1964. Di jenjang pendidikan tinggi, terdapat berbagai
akademi, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Meskipun jenis-jenis
institusi ini mengalami pasang-surut, UU No 2 tahun 1989 menjamin eksistensi
semua jenis institusi yang ada pada periode 1959-1966. Pada waktu yang sama,
penataan pendidikan tinggi dilakukan berdasarkan UU No 22 Tahun 1961 yang
dikeluarkan atas nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Kurikulum SD mengalami perubahan yang
disesuaikan dengan konsep Panca Wardhana. Dalam kurikulum ini, terdapat mata
pelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan, keterampilan, dan
rasa/karya sesuai dengan prinsip-prinsip Wardhana. Salah satu perubahan dalam
kurikulum SD adalah pengenalan mata pelajaran yang disebut Pendidikan
Kemasyarakatan. Mata pelajaran ini dianggap sebagai sarana untuk membentuk
moralitas nasional/internasional dan keagamaan (dokumen kurikulum). Pendidikan
Kemasyarakatan merupakan penggabungan mata pelajaran ilmu bumi, sejarah, dan
kewarganegaraan.
Perubahan kurikulum yang signifikan terjadi
pada jenjang SMP dan SMA. Pembagian jurusan A dan B di SMP dihapuskan.
Mengingat bahwa siswa pada jenjang pendidikan menengah pertama masih terlalu
muda untuk dipaksa memilih jalur A atau B, terlebih lagi pemilihan jalur
tersebut dilakukan saat siswa akan naik ke kelas dua. Struktur kurikulum SMP terdiri
dari kelompok dasar, kelompok cipta, kelompok rasa/karya, dan kelompok krisa.
Struktur ini disesuaikan dengan keputusan Menteri terkait Panca Wardhana.
Kelompok dasar memberikan pengetahuan melalui mata pelajaran seperti civics,
Sejarah Nasional Indonesia, Bahasa Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan
Agama/Budi Pekerti, dan Pendidikan Jasmani/Kesehatan.
Mata pelajaran seperti Aljabar, Ilmu Ukur,
Ilmu Hayat, dan Ekonomi termasuk dalam kelompok cipta, sementara mata pelajaran
seperti Sejarah Dunia termasuk dalam kelompok cipta juga. Mata pelajaran dalam
kelompok rasa/karya mencakup Drama dan Sastra. Pada tahun 1962, diperkenalkan
sistem SMP dengan gaya baru yang bebas dari jalur tertentu. Pembagian jalur
atau jurusan baru diterapkan di SMA setelah siswa menyelesaikan satu tahun di
SMA. Oleh karena itu, SMA ini disebut juga sebagai SMA gaya baru. Di kelas dua
dan tiga SMA, siswa dapat memilih salah satu dari empat jurusan, yaitu jurusan
budaya, sosial, ilmu pasti, dan ilmu alam.
Kurikulum di SMA menetapkan bahwa siswa
yang memilih jurusan sastra harus mempelajari bahasa asing seperti Jerman dan
Perancis. Mata pelajaran seperti bahasa Jawa Kuno dan tulisan Arab Melayu
termasuk dalam jurusan sastra. Sementara itu, dalam jurusan sosial terdapat mata
pelajaran seperti ekonomi, tata buku, hukum dan tata negara, dan
etnologi/sosiologi. Jurusan ilmu pasti memiliki mata pelajaran yang terkait
dengan matematika seperti aljabar, ilmu ukur ruang, ilmu ukur bidang, sedangkan
bagi siswa yang memilih jurusan ilmu alam akan mempelajari mata pelajaran
seperti kimia, ilmu alam, ilmu tubuh manusia, ilmu hewan dan ilmu
tumbuh-tumbuhan.
Di jenjang pendidikan dasar dan menengah,
dilakukan ulangan setelah beberapa pertemuan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan
masa sekarang. Namun, pada waktu itu tidak digunakan istilah formatif,
sub-sumatif, atau sumatif. Tes tetap merupakan alat evaluasi utama di kedua
jenjang pendidikan ini. Pemberian tugas hanya dianggap sebagai alat evaluasi
tambahan. Meskipun demikian, prinsip evaluasi yang digunakan guru saat ini
tidak berbeda secara prinsipil. Namun, pada waktu itu guru belum mengenal
bentuk tes objektif. Soal yang digunakan masih berupa soal uraian (esai).
Bentuk ini digunakan di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan dan terus digunakan
tanpa perubahan bentuk hingga kemudian diperkenalkan bentuk tes objektif.
Fungsi ujian akhir sekolah pada waktu itu
terutama untuk mereka yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Pada tahun terakhir SD, siswa yang akan melanjutkan ke SMP diharuskan
untuk mengikuti ujian negara. Hal yang sama berlaku bagi siswa yang ingin
melanjutkan dari SMP ke SMA, sehingga pada waktu itu dikenal adanya siswa yang
akan tamat sekolah dan siswa yang lulus dari suatu sekolah. Namun, keadaan
seperti ini berubah di mana siswa diminta untuk mengikuti ujian akhir
pendidikan dan setelah itu mengikuti ujian masuk suatu sekolah. Perubahan ini
terjadi dari tahun 1970-1987, ketika kemudian diperkenalkan sistem Nilai
Ebtanas Murni (NEM). Dengan model ini, siswa tidak perlu lagi mengikuti tes
masuk untuk sekolah yang akan mereka ikuti. Skala nilai yang digunakan untuk
mengapresiasi hasil yang diperoleh adalah dari 0-10. Skala ini masih digunakan
hingga sekarang dan merupakan warisan dari pendidikan pada masa penjajahan
Belanda.
Perubahan baru terjadi pada masa
pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, ujian lisan masih dilakukan di perguruan
tinggi meskipun pelaksanaannya terus berkurang. Dosen-dosen senior yang
terbiasa dengan ujian lisan masih melaksanakannya, namun mereka mulai
mendapatkan tekanan karena jumlah mahasiswa yang semakin banyak. Jumlah yang
semakin bertambah membuat para dosen penguji harus menyediakan waktu yang
banyak untuk menguji mahasiswa, sehingga ujian lisan hanya terbatas pada
perkuliahan dengan jumlah mahasiswa yang sangat sedikit.@
Illustrasi by Wikimedia Commons
Posting Komentar untuk "DINAMIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA TAHUN 1959 HINGGA 1965 (Demokrasi Terpimpin)"