ACADEMICS.id - Hingga detik ini, hukum tentang maulid Nabi SAW selalu saja ditanyakan. Sejujurnya, sangat tidak menarik merespon hal ini dan bagi saya hanya membuang-buang waktu. Just imagine..., di zaman revolusi industry 4.0 seperti ini, terus saja maulid didiskusikan dan jadi polemik yang parahnya lagi malah memecah belah dan membina kelompok-kelompok tanpa basis yang signifikan. Semestinya kita sudah jauh beranjak dan tidak lagi berkutat pada diskursus yang itu-itu saja. Lebih baik kita fokus pada tahap aksi dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi ummat, peenyediaan lapangan kerja dan teknologi ummat, demi kesejahteraan kehidupan bersama.
Namun sebagai bentuk relief dari perasaan
yang tak menentu, paling tidak tulisan ini saya anggap sebagai partisipasi
gelora bahagia atas peristiwa kelahiran sayyidul anbiya wal mursalin, Muhammad
SAW. Toh, Abu Lahab saja yang begitu
keras menentang beliau bahkan dengan gamblang namanya Allah SWT sebut
dalam al-Quran dan terkutuk pula. masih diberi keringanan azab dan siksa di alam
kubur pada setiap hari kelahiran Nabi SAW karena alasan bahagia atas kelahiran
beliau dengan membebaskan seorang budaknya, Suwaibah.
Kata kunci yang harus dipegang dalam
masalah ini adalah peringatan maulid Nabi SAW bukanlah sebuah ibadah. Syeikh
Muhammad ‘Alawi Al-Maliki menyatakan dalam bukunya مفاهيم يجب أن تصححbahwa peringatan maulid Nabi SAW merupakan sebuah ‘adah. Sebuah
kebiasaan atau tradisi. Sebuah tradisi yang dihadirkan bukan dalam bentuk
ibadah. Tidak lebih dari pada itu. Disini, harus jelas perbedaan mana yang
termasuk ibadah dan mana yang merupakan kebiasaan atau tradisi. Tatkala sesuatu
itu disebut ibadah, maka ia terikat dengan sumber syariah yang jelas, maka
disitu ada fiqh. Adapun sebuah tradisi maka ia lahir dari nilai norma social.
Sekalipun pada hakikatnya, norma atau nilai itu mesti diletakkan pada timbangan
syariah.
Oleh karena peringatan maulid ini merupakan
perkara tradisi, maka tidak selayaknya ia dinilai dari kaca mata ibadah.
Seringkali pertanyaannya adalah apa hukumnya melaksanakan peringatan maulid?
Pertanyaan yang tidak tepat karena masalah tradisi jangan dinilai dengan hukum
ibadah. Tradisi harus dinilai dengan baik buruknya konten yang terkandung. Jika
baik isinya maka dipertahankan dan jika tidak baik maka ditinggalkan atau jika
bisa dimasukkan inovasi ke dalamnya maka iapun direnovasi. Disinilah kita kenal
dengan Qaidah Fiqhiyah العادة محكمة Sehingga, jika kita berbicara sejarah Arab,
banyak tradisi Arab yang telah ditinggalkan dan dibuang karena tidak sesuai
dengan syariah dan sebaliknya banyak tradisi Arab yang tetap dipertahankan atau
yang dimodifikasi. Demikian juga dengan tradisi-tradisi yang ada di Indonesia.
Perlakukannya sama,tidak kurang dan tidak lebih. Hingga seluruh tradisi yang
ada di dunia ini.
Berangkat dari sini, maka perayaan dan
peringatan maulid merupakan sebuah tradisi yang didalamnya ada hal-hal yang
baik. Dalam ranah relijiusitas, maka banyak sekali manfaat yang didapatkan dari
perayaan semacam ini. Kita bisa saling mempelajari sejarah Nabi SAW, saling
mengingatkan sunnah-sunnah beliau, merenungi nilai-nilai perjuangan beliau,
bertafakkur terhadap tingginya akhlaq beliau dan lain sebagainya. Bahkan secara
social, ajang ini bisa menjadi perajut erat silaturahim dan persaudaraan antara
tetangga dan jamaah. Kita ingat betapa riuh dan ramainya suasana kampung
tatkala malam perayaan peringatan maulid tiba. Emak-emak membawa kue dan
makanan dari rumah masing-masing. Kiyai, ustadz, habib dan para alim ulama
diundang untuk memberikan tausiyah terkait uswah yang bisa diambil dari Nabi
SAW.
In general, itulah tradisi peringatan
maulid. Bahkan karena sering diisi dengan bacaan Quran, pengajian dan taklim,
maka ia juga tak luput dari nilai-nilai ibadah. Tak ada yang rugi. Yang menjadi
masalah dan wajib ditinggalkan adalah jika peringatan maulid diisi dengan
joget, music yang mengundang syahwat, umbar aurat dan sejenisnya. Bagaimana
mungkin mengingat Nabi SAW disandingkan dengan hal-hal tersebut. Perlu diingat
bahwasanya dalam fiqh, sesuatu dinilai dari kelakuan orangnya فعل المكلف bukan pada penamaan dan
sebagainya.
Mungkin kita bisa ambil pelajaran dari
Salahuddin Al-Ayubi. Sejarah mencatat, berkat cara beliau meningkatkan giroh,
semangat dan keberanian kaum muslimin melalui peringatan maulid Nabi SAW maka
Palestina berhasil direbutnya. Mustahil Syiah Dinasti Fatimiyyah mampu
diruntuhkan juga oleh Salahuddin Al-Ayubi jika beliau tidak menaikkan kecintaan
pasukannya kepada Nabi melalui momentum menghidupkan risalah kenabian Muhammad
SAW. Maka nama Salahuddin Al-Ayubi pun dicatat dengan tinta emas (walaupun ada
perbedaan di kalangan sejarawan) sebagai orang pertama yang salah satunya
menghidupkan pembahasan-pembahasan mengenai risalah tentang Nabi SAW seperti
peringatan maulid ini. Banyak manfaatnya dan tidak sedikit faedah yang bisa
direngkuh dari sini.
Posting Komentar untuk "Tentang Maulid Nabi Lagi..."