Refleksi Singkat Tentang Maulid

 


ACADEMICS.idSemarak dan antusiasme umat Islam di Indonesia dalam merayakan maulid Nabi SAW bisa dikatakan sebagai yang terheboh dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk mayoristas muslim lainnya. Tak perlu jauh-jauh, di kampung saya saja, apabila malam perayaan maulid tiba, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa bahkan para jompo pun tak ketinggalan turut larut dalam suka cita perayaan maulid tersebut. Ceramah maulid dengan mengundang kiyai atau ulama dari luar daerah merupakan keharusan yang tidak boleh ditinggal, termasuk juga dengan pembacaan kisah maulid karya Syeikh al-Barzanji. Di masjid, berbondong-bondong kaum ibu membawa rantang berisi beragam macam makanan yang dihidangkan dalam nampan. Anak-anak memanfaatkan moment itu sebagai malam bermain yang seakan lepas dari aturan ketat orang tua masing-masing. Yah… demikian lah semaraknya. Dan sedari akhir Oktober 2020 kemarin merupakan bulan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Saking spesialnya moment ini, maka pemerintah secara khusus menjadikannya sebagai “tanggal merah idaman” skala nasional.

Yang menarik adalah, sepanjang dekade belakangan ini, muncul dan tampak dengan jelas sekelompok orang yang menolak perayaan maulid dilakukan dengan alasan bid’ah dholalah, tak ada contoh pada zaman Nabi bahkan masa para sahabat, hingga alasan-alasan lain yang menjurus takfir (baca: mengkafirkan) sesama saudara muslim. Padahal, waktu saya masih kecil (bisa dikatakan sudah aqil baligh) di kampung saya, kelompok-kelompok seperti ini tak pernah tampak. Sehingga nyaris bahkan tak pernah terdengar pertentangan, atau sesuatu yang membuat orang kampung saya ragu dan stagnan untuk ikut heboh merayakan maulid di manapun tempat. Meskipun selentingan itu ada, namun ia hanya sekedar cerita, yang tak pernah menjadi sebuah ekspresi masiv yang nyata. Begitulah, sehingga cerita orang-orang kampung adalah hanya di Saudi Arabia yang maulid tidak dirayakan.

Sesungguhnya, tidak hanya Indonesia yang menjadikan tanggal 12 Rabi’ul Awal sebagai hari perayaan maulid Nabi SAW, jika indikatornya adalah “tanggal merah”. Hampir semua negara berpenduduk mayoritas muslim “memerahkan” tanggal 12 Rabi’ul Awal, artinya resmi sebagai hari libur nasional, kecuali memang Saudi Arabia. Anehnya, walaupun bukan libur nasional dan kerajaan Saudi Arabia tetap “menghitamkan” tanggal 12 tersebut, namun sebagian penduduk negeri itu merayakan maulid Nabi. Meskipun tidak seperti gegap gempita perayaan di kalangan umat muslim di Indonesia, seperti kenduri, sibuknya orderan tenda, ceramah, tabligh akbar dan lain sebagainya. Penduduk Mekkah hanya mengungkapkan rasa bahagia itu dengan membagi-bagikan hadiah kepada orang lain.

Sikap Kerajaan Saudi Arabia yang didukung oleh rakyatnya ini bisa diterima dan dipahami dengan baik. Alasannya adalah politically dan socially, Saudi Arabia menganut pemikiran Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalam bahasa yang lebih intellek, Kerajaan Saudi Arabia adalah manifestasi pemikiran Ibnu Taimiyah. Dalam hal maulid misalnya, kitab Iqtidho alshirot almustaqim limukholafati ash-hab aljahim yang ditulis oleh Imam Ibnu Taimiyah, beliau mengatakan bahwa:

Menjadikan musim-musim selain musim-musim syariah, seperti sebagian malam pada bulan Rabi'ul Awal yang diyakini sebagai malam maulid...., maka sesungguhnya perbuatan itu adalah bid'ah (inovasi) yang tidak pernah dilakukan para ulama terdahulu (salaf). Jadi, sebagai saudara sesama muslim, kita mau apa lagi? Ini lah indahnya perbedaan”.

Maka bagi kita yang menyelenggarakan maulid, tentu moment ini mesti kita sikapi dengan lebih komprehensif. Perayaan maulid ini bukan hanya sebuah prosesi kultural belaka namun juga sebuah bentuk ibadah yang memiliki nilai, tidak sia-sia. Bayangkan, gempita perayaan maulid mampu memperat silaturrahim, saling mengingatkan sesama akan makna dan pentingnya shalawat, dan ilmu pengetahuan yang melimpah melalui majelis-majelis ilmu. Satu hal yang tak bisa dilewatkan adalah moment untuk berbagi rasa dan bahagia melalui sedekah. Karena itu, di saya punya kampung, segala macam kue dan makanan dibuat oleh ibu-ibu. Saya dulu, selesai saja tausiyah dari pak kiyai, sekelebat langsung mengambil posisi paling strategis di depan nampan yang diatasnya ada kue dan makanan yang sejak awal acara diincar.

Memang, kalau mau sedikit lebih terbuka, di berbagai kitab turost (baca: kitab kuno) banyak pendapat ulama besar yang tidak melarang perayaan maulid Nabi SAW. As-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibn Jauzi dan Ibn 'Abidin atau juga Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani tidak melarang maulid dirayakan. As-suyuthi dalam kitabnya alhawi lil fatawi mengatakan bahwa:

menurut saya, prosesi rangkaian maulid yang terdiri atas berkumpulnya manusia, membaca al-Qur'an, membaca riwayat tentang Nabi dan peristiwa kelahirannya serta menyantap makanan kemudian selesai, tanpa ada tambahan macam-macam adalah inovasi (bid'ah) yang baik yang mendapat balasan pahala pelakunya, sebab didalamnya ada penghormatan kepada kemuliaan Nabi dan mempertegas rasa bahagia atas kelahiran Nabi yang mulia”.

Atas pendapat ini, Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:

Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)

Pendapat ini juga dikuatkan lagi oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani. Beliau berkata:

Bahwa sesungguhnya mengadakan Maulid Nabi Saw merupakan suatu tradisi dari tradisi-tradisi yang baik, yang mengandung banyak manfaat dan faidah yang kembali kepada manusia, sebab adanya karunia yang besar. Oleh karena itu dianjurkan dalam syara’ dengan serangkaian pelaksanaannya”.

Bahkan dalam buku Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW adalah sebuah anjuran. Silahkan renungi firman Allah pada Surah Yunus ayat 58. Kemudiah, dalam kitab Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani diceritakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa tiap hari senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah. Ini membuktikan bahwa bergembira dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan orang kafirpun dapat merasakan hikmahnya.

Terlepas dari kita sepakat atau tidak dengan perayaan Maulid, sesungguhnya ada satu persoalan yang menyita perhatian para pakar sejarah Islam. Dan hal ini sampai sekarang belum menjadi mufakat global pakar sejarah Islam. Selama ini, kita memahami bahwa Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awal tahun gajah. Namun sesungguhnya, terjadi perbedaan pendapat tentang hari, tanggal dan tahunnya. Bagaimana kalau bahasan ini kita pending ke tulisan berikutnya? Baiklah, selamat merayakan maulid Nabi SAW (bagi yang merayakan). Wallahu a’lam bi al-showab. (*)

Penulis: Sofiandi, Ph.D

Ilustrasi:  islam.nu.or.id

 

Posting Komentar untuk "Refleksi Singkat Tentang Maulid"