APA MUNGKIN BANK ISLAM BISA BEROPERASI TANPA BUNGA…? KOK BISA...?

ACADEMICS.id - Kerapkali soal seperti ini dipertanyakan tatkala kita berusaha untuk mencoba memahami operasional sebuah perbankan dengan platform tanpa bunga. Kebanyakan pertanyaannya diawali dengan kata “Apa mungkin?” yang menandai rasa skeptic (jika tidak menganggap mustahil). As a matter of fact, prinsip dasar perbankan yang menjalankan system Islam memanglah seperti itu yakni pengharaman riba dan bunga bank (interest) merupakan salah satu bentuk riba yang dihukumi haram tersebut.

Saya sendiri selalu mendapatkan pertanyaan serupa dalam berbagai bentuk narasi dan diksi. Esensi dari pertanyaan itu tak lain merupakan cerminan dari pesimisme yang massif jika tidak dibilang “nyinyiran” bak mimpi indah di siang bolong. Pesimisme ini semakin menjadi tatkala mengetahui berita tentang kondisi Bank Muamalat Indonesia yang menuju ke arah kebangkrutan beberapa waktu yang lalu. Ditambah dengan minimnya support dari pemerintah yang sesungguhnya merupakan modal dasar bagi sebuah lembaga keuangan public.

Bank dalam perekonomian Islam merupakan tonggak dasar bagi system keuangan Islam yang notabene sebuah bentuk lembaga keuangan pertama yang didirikan atas dasar prinsip Islam. Sebagaimana yang kita pahami dari sejarah Islam bahwa yang pertama kali didirikan oleh Nabi SWA di Madinah dalam kaitannya dengan perekonomian adalah Baitul Maal, embrionya perbankan Islam. Adapun perbedaan yang sangat mendasar antara lembaga keuangan Islam (perbankan) dan konvensional adalah operasional yang bebas bunga bank. Kembali kepada pertanyaan di atas, how come (kok bisa)?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu dipahami bahwa terdapat similarity diantara perbankan Islam dengan perbankan konvensional dalam hal produk perbankan yang ditawarkan kepada public antara lain tabungan, deposito, fasilitas ATM, deposit box, layanan  online hingga transfer uang. Hal ini menunjukkan bahwa disamping perbedaan dasar terkait dengan bunga bank tadi, keberadaan perbankan Islam memiliki kesamaan tujuan dengan perbankan konvensional, sama-sama mengelola keuangan public.

Mari kita bahas secara singkat bagaimana sebuah bank konvensional beroperasi. Ketika anda hendak menyimpan uang atau membayar tagihan-tagihan, maka anda akan membuka tabungan di bank. Untuk satu akun tabungan, pihak bank akan memberikan kepada anda keuntungan di awal berupa bunga bank dengan rate atau nilai tertentu. Jika pada suatu saat anda berada pada posisi terdesak, anda bisa meminjam uang kepada bank dan pihak bank akan membebani anda dengan bunga bank yang lebih tinggi dari bunga yang ada terima dari akun tabungan anda. Disinilah salah satu cara bank konvensional untuk menarik keuntungan dari uang anda sendiri. Selain itu, pihak bank juga bisa mendapatkan keuntungan dari berbagai jasa, seperti penerbitan surat berharga, jasa transfer, ATM servis, pembayaran online dan sebagainya. Pada dasarnya, perbankan konvensional mengandalkan interest untuk mendapatkan keuntungan dan membiayai aktifitas operasionalnya.

Semakin sulit rasanya menjelaskan bagaimana selayaknya sebuah bank Islam bisa beroperasi tanpa bunga bank. Bukan kah demikian? Sesungguhnya tidak. Dalam prinsip Islam, diperkenankan bagi sebuah lembaga keuangan untuk mengeruk keuntungan berapapun besarnya keuntungan tersebut. Yang harus dihindari adalah menentukan keuntungan di muka. Ini yang disebut dengan bunga. Menentukan keuntungan di awal. Sebaliknya, Islam mempersilahkan kepada pihak bank untuk memberikan keuntungan yang merupakan hasil dari sebuah aktifitas ekonomi dengan dasar profit dan lost sharing. Oleh karena itu, perbankan Islam beroperasi dengan mengumpulkan uang dari konsumen dan memanfaatkan dana yang terkumpul dalam sebuah kegiatan ekonomi yang menghasilkan keuntungan yang kemudian dibagikan kepada deposan dan bank. Inilah salah satu sumber pendapatan perbankan Islam. Dari sinilah, dan banyak inovasi skema pendapatan lain, yang dimanfaatkan oleh perbankan Islam untuk membiayai operasional dirinya. Baiklah, sekarang kita coba untuk membentangkan sumber-sumber pendapatan tersebut secara sistematik.

Saya ingin mengawali topic ini dengan premis yang sederhana. Setiap organisasi pasti memerlukan dana yang bisa digunakan untuk operasional sehari-hari. Apa saja keperluan operasional itu, mulai dari pengadaan ATK, listrik, kebersihan hingga hal-hal yang besar. Demikian juga halnya dengan bank komersil, pasti memerlukan sumber-sumber untuk pendanaan operasionalnya. Biasanya sumber-sumber tersebut terdiri dari modal yang terkumpul, dana cadangan yang telah disiapkan, instrument hutang atau obligasi, money loans dan dana simpanan konsumen. Baik bank konvensional maupun bank Islam, dana yang tersedia untuk operasionalnya bisa dikelompokkan ke dalam 2 jenis dana, yaitu dana yang dimiliki oleh bank atau dana pinjaman.

Pada saat sebuah bank akan dibuka, maka harus memenuhi syarat yang salah satunya ada kecukupan dana operasional pada jumlah tertentu. Hal ini berbeda dari satu negara ke negara lain karena regulasi yang berbeda-beda. Umumnya, kecukupan dana, baik yang meliputi dana operasional dan dana cadangan, mesti dimiliki. Dan selama beroperasi, bank harus mempertahankan keuntungan pada level tertentu agar kesehatan keuangan dan modal tetap terjaga. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, ada dua jenis pendanaan modal yang biasa dimiliki baik oleh bank Islam maupun konvensional.

Pertama, yang disebut dengan paid-up capital (modal yang berasal dari setoral pemilik saham) atau disebut juga dengan istilah owners’ equity. Modal ini merefleksikan kekuatan modal sebenarnya yang ada pada suatu bank untuk memutar roda operasionalnya, bukan potensi kekuatan keuangan bank kedepan.

Kedua, apa yang disebut dengan istilah reserves (dana cadangan yang disimpan) yang biasa juga disebut dengan istilah retained earnings. Modal jenis ini merupakan dana yang disimpan secara khusus, yang tidak didistribusikan kepada pemilik saham untuk penggunaan di masa yang akan datang, jika diperlukan. Karena sifatnya cadangan, maka dana ini harus tetap disimpan dan hanya digunakan pada kondisi-kondisi tertentu dengan kualifikasi kondisi yang ketat.

Modal operasional perbankan yang krusial adalah jenis ke dua, yaitu dana pinjaman. Disini terletak perbedaan yang mencolok antara perbankan konvensional dan Islam. Kedua jenis bank menerima dana pinjaman dalam bentuk uang yang dihasilkan dari surat berharga utang, loans dari bank lain, simpanan dana penabung, dan juga ada yang berasal dari dana pinjaman dari bank sentral. Akan tetapi, dana pinjaman sebuah bank Islam harus berasal dari produk-produk dan kontrak-kontrak yang halal sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Sumber pendanaan perbankan lainnya adalah instrument hutang. Dengan instrument-instrumen ini, berbagai pihak termasuk perbankan sendiri diberikan opsi untuk meminjam dana pihak lain dengan komitmen pengembalian sesuai dengan ikatan kontrak tertentu. Instrumen hutang bisa dalam bentuk lembaran surat atau diterbitkan dalam bentuk perjanjian elektronik (electronic promise).

Perbankan konvensional banyak menangani berbagai jenis instrument hutang seperti obligasi, sertifikat deposito, tagihan-tagihan, kontrak investasi terjamin (GICS) yang merupakan kontrak atau perjanjian hutang yang mengikat untuk mengembalikan pokok hutang yang ditambah dengan bunganya dalam jangka waktu tertentu.

Tidak hanya bank konvensional, bank Islam pun menggunakan instrument hutang ini namun dengan prinsip Islam. Dalam prinsip syariah, instrument hutang tidak berdiri sendiri atau tunggal. Justru sebaliknya, instrument hutang dalam Islam merupakan instrument-instrument yang terkait dengan berbagai prinsip syariah dan akad (kontrak) Islam antara lain: kemitraan (mudharabah), usaha patungan (musyarakah), biaya plus laba (murabahah), penjualan ke depan (salam), sewa (ijarah), representasi agen (wakala), dan penjualan berdasarkan pesanan (istisna’).

Selanjutnya, dalam pembiayaan konvensional, hutang selalu dikaitkan dengan bunga, tidak bisa tidak. Timbul lagi pertanyaa, bagaimana mungkin bank Islam menerbitkan instrument bunga tanpa bunga? Disini harus diingat bahwa hutang dalam system keuangan konvensional adalah kewajiban keuangan yang timbul ketika suatu entitas meminjam uang dari pemberi pinjaman. Dalam Islam, hubungan antara kedua belah pihak tidak sebagaimana yang dipotret dalam dimensi konvensional. Kewajiban hutang timbul dari hubungan dagang antara kedua pihak dan adapaun potensi laba yang didapatkan dari hubungan dagang tersebut tidak ada hubugannya dengan pembayaran bunga.

Selayaknya perbankan konvensional, perbankan Islam menggunakan instrument hutang untuk mendanai likuiditas jangka pendek maupun jangka panjang yang memenuhi syarat. Terdapat 2 instrument hutang yang dapat digunakan bank Islam untuk mengumpulkan dana, pertama, sukuk korporat (perlu kesempatan khusus untuk membahas ini) dan yang kedua, sertifikat pembiayaan berjangka. Berbeda dengan sukuk, pemegang sertifikat ini bisa menebus jumlah pokok kapanpun selama masa kontrak.

Yang harus diingat, sekalipun instrument hutang tersedia di pasar modal syariah, perbankan Islam tidak memiliki akses sebagaimana perbankan konvensional. Oleh karena itu, pada poin ini, perbankan Islam memang harus lebih bekerja keras untuk dapat mengumpulkan likuiditas. Bagaimanapun juga, aplikasi instrument hutang tanpa bunga dilapangan masih dalam tahap proses pengembangan dan penyempurnaan. Untuk perbankan Islam di Malaysia, instrument seperti ini sudah jauh dikembangkan dan digunakan secara luas.

Selain mendapatkan dana dari penerbitan instrument hutang, sumber keuangan lainnya bagi perbankan Islam adalah pinjaman likuiditas dari bank lain. Sebagaimana yang dijamak dilakukan oleh perbankan konvensional, hal ini juga bisa dilakukna oleh perbankan Islam untuk mendanai kebutuhan likuiditasnya. Biasanya, jangka waktu pengembaliannya adalah satu minggu atau lebih.

Pada perbankan konvensional, transksi ini dilakukan dengan menggunakan tingkat bunga antar bank yang ditetapkan pada pasar tertentu antara lain suku bunga dana federal di Amerika Serikat, LIBOR di Inggris, EURIBOR di Uni Eropa, dan EIBOR di Uni Emirat Arab.

Tentu saja transaksi berbasis bunga seperti ini diharamkan dalam  keuangan Islam. Oleh karena itu, perbankan Islam mesti menemukan pasar antar bank sendiri. Untuk saat ini, produk pasar uang antar bank Islam dilakukan atas dasar konsep mudharabah (kemitraan), murabahah (simpanan komoditas), musyarakah (usaha patungan) dan wakal (perwakilan agen). Mari kita bahas konsep-konsep ini:

Mudharabah (kemitraan): Berdasarkan kontrak ini, perbankan Islam dengan deficit likuiditas memperoleh dana pinjaman jangka pendik dari perbanakn Islam lain dengan dasar bagi hasil dan rugi (PLS). Kedua pihak melakukan negosiasi rasio PLS. Jika ada laba, maka laba dibagikan dengan rasio yang disepakati tersebut, dan jika ternyata terjadi kerugian, maka hanya satu pihak yang menanggung kerugiannya. Sedangkan pihak yang lain telah rugi dari segi waktu dan tenaga yang dilakukan untuk melakukan transaksi (perlu sesi khusus untuk membicarakan hal ini). Kontrak mudharabah memungkinkan terjadinya kontrak berjangka singkat satu hari hingga satu tahun lamanya. Dana yang dikembalikan oleh bank yang meminjam adalah sejumlah pokok pinjaman plus rasion keuntungan yang disepakati.

Kontrak likuiditas biaya-plus-laba (setoran komoditas murabahah): Instrumen ini cukup rumit namun masih mungkin dilakukan di pasar modal Islam untuk mencukupi likuiditas perbankan Islam. Instrument ini semacam kontrak deposito syariah yang didukung oleh komoditas likuiditas seperti logam atau saham, dengan masa berlaku dua minggu atau bisa sampai satu tahun.

Usaha Patungan antar bank Islam (musyarakah): Perjanjian kemitraan yang melibatkan 2 pihak. Bank pemberi pinjaman berpartisipasi dalam kumpulan dana sebagai investor. Bank peminjam sebagai mitra kerja yang mengelola dana pinjaman tersebut. Pada akhir kontrak, kedua pihak berbagi laba dan rugi sesuai dengan kontrak yang telah ditenttukan.

Wakalah: Dalam kontrak jenis ini, satu bank bekerja sebagai agen untuk baik lain. Bank Islam menyimpan dana di bank lain untuk menginvestasikannya secara syariah dalam upaya mengelola likuiditas bank Islam.

Harus diakui bahwa instrument pinjaman antar bank Islam belum sepenuhnya dibangun. Masihn perlu jalan panjang  untuk menjadikannya sebuah instrument yang baik dan siap pakai. Di dunia nya, baru ada 2 negara Islam yang telah menggunakan system pasar uang antar baik Islam ini yaitu di Malaysia dengan Islamic Interbank Money Market (IIBMM) dan Mekah, diaman Thomson Reuters memperkenalkan Islamic Interbank Benchmark Rate (IIBR).

Sumber likuiditas bagi perbankan Islam lainnya adalah berasal dari deposit nasabah. Kita ketahui bahwa nasabah melakukan setoran bank dengan berbagai alasan, termasuk menabunng dan dalam nuansa konvensional, sekaligus untuk mendapatkan penghasilan. Ini merupakan sumber pendanaan utama pihak perbankan. Baik konvensional maupun Islam. Bank akan menggunakan simpanan nasabah untuk memberikan pinjaman dan produk investasi kepada nasabah lainnya demi keuntungan yang berantai.

Perbedaan mendasar antara simpanan yang dibuat di bank syariah dan bank konvensional adalah bahwa bank syariah bertindak sebagai pengelola dana antara deposan dan peminjam, sementara bank konvensional bertindak hanya sebagai perantara antara kedua pihak. Prakteknya, seorang manajer dana secara aktif mengelola dana pelanggan yang menginvestasikannya dan mencari pengembalian sehingga pelanggan dan bank dapat berbagi keuntungan. Di sisi konvensional, perantara menghubungkan peminjam uang dan pemberi pinjaman. Mereka mengambil uang dari pelanggan dan menjamin bahwa uang tersbut akan kembali. Mereka kemudian meminjamkan uang kepada pihak yang membutuhkannya. Di antaranya, mereka mendapat untung dengan membebankan suku bunga yang lebih tinggi dari peminjam dan membayar suku bunga yang lebih rendah kepada pemberi pinjaman.

Ada beberapa jenis rekening yang ditawarkan oleh perbankan Islam kepada nasabah. Berikut ini kita coba untuk membahasnya satu persatu:

Pertama, rekening giro. Di bank konvensional, rekening giro disebut demand account. Di Amerika Serikat disebut checking account. Seperti yang djelaskan sebelumnya, jenis akun ini berbeda dari yang lain karena memberikan kebebasan deposan untuk menarik atau mentransfer uang mereka kapan saja tanpa batasan pada jumlah penarikan.  Bank syariah memiliki giro yang mirip dengan yang ditemukan di bank konvensional. Pelanggan dapat menulis cek dan menggunakan kartu debit untuk menarik uang mereka seperti halnya pelanggan di bank konvensional.

Namun, akun giro syariah berbeda secara konseptual.  Rekening giro bank syariah tidak membayar bunga dan tidak mengenakan biaya untuk overdraft atau untuk penggunaan kartu kredit.  Nilai nominal setoran dijamin dalam rekening giro bank syariah.

Saat ini, penawaran akun masih berbeda dari satu bank ke bank lainnya.  Secara teoretis, terdapat tiga kontrak dasar Islam untuk rekening giro di bank syariah berikut: Setoran (wadia) Setoran perwalian (amana) Pinjaman (qard hasan).

Dalam skema kontrak setoran (wadia) dan setoran perwalian (amana), seseorang memberikan propertinya kepada wali amanat demi alasan keamanan dan tidak berharap menerima imbalan apa pun atas penggunaannya.  Dalam kontrak wadia, wali amanat diizinkan untuk menggunakan aset tersebut sementara aset tersebut berada dalam kepemilikannya, dengan ketentuan bahwa properti tersebut harus dikembalikan ketika diminta.  Dalam kontrak amana, wali amanat tidak dapat menggunakan asset, dia hanya berkewajiban melindungi asset.

Jika wali amanat membebankan biaya untuk penyimpanan aset berdasarkan kontrak wadia, maka dia bertanggung jawab atas segala kerusakan yang terjadi pada aset tersebut.  Dan dalam kontrak amana, wali amanat bertanggung jawab jika ternyata lalai dalam menjaga aset.

Secara umum,implementasi kontrak wadia atau amana ialah bank sebagai wali amanat, dan uang pelanggan adalah properti atau aset.  Di bawah kontrak amana, bank hanya memegang uang pelanggan dan menjaganya;  pelanggan membayar biaya untuk layanan ini.  Di bawah kontrak wadia, bank dapat menggunakan uang pelanggan (dengan menginvestasikannya, misalnya) tetapi harus mengembalikan uang itu kepada pelanggan kapan pun pelanggan membutuhkannya.

Jenis rekening lainnya yang ditawarkan oleh perbankan Islam adalah Qard Hasan (Pinjaman tanpa laba). Qard hasan adalah jenis pinjaman yang tidak menuntut untung.  Pada dasarnya, qard hasan bekerja ketika pemberi pinjaman memberikan pinjaman tanpa menuntut biaya bunga atau kompensasi apa pun dari peminjam.  (Namun, sebagai tanda apresiasi, peminjam dapat memberikan uang ekstra bersama dengan pokok pinjaman pada saat pelunasan). Skema Qard Hasan ini dilakukan oleh perbankan Islam dalam semangat social keummatan dengan tanpa orientasi keuntungan bisnis.

Terkait dengan rekening tabungan, perbankan Islam menawarkan rekening tabungan yang serupa dengan yang ada di perbankan konvensional. Di perbankan Islam, rekening tabungan didasarkan pada kontrak kemitraan mudharabah atau musyarakah.  Modal biasanya tidak dijamin dalam jenis akun ini, tetapi bank syariah mengambil langkah-langkah untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang relatif bebas risiko.  Dan pemegang rekening tabungan di bank syariah berhak atas pengembalian berdasarkan pembagian laba dan rugi.

Akan tetapi, pada beberapa bank syariah, rekening tabungan tidak berbentuk akun mudharabah maupun musyarakah, melainkan berdasarkan kontrak deposit (wadia) atau trust deposit (amana).  Dalam kasus ini, bank biasanya menjamin nilai nominal setoran, dan deposan tidak menerima pengembalian untuk  uang mereka.  Namun, bank, atas kebijakannya sendiri, dapat menawarkan hadiah (hibah) kepada pelanggan berdasarkan keuntungan dari jumlah yang disetor.

Selain rekening tabungan, perbankan Islam juga menawarkan rekening/akun investasi berdasarkan basis bagi hasil dan kerugian atau Profit and Loss Sharing (PLS);  akun ini juga disebut participating account, PLS account atau equity investment. Pada prinsipnya, rekening investasi bank Islam ini mirip dengan Deposito berjangka tetap (seperti sertifikat deposito) di bank konvensional, tetapi konsepnya berbeda karena rekening deposito berjangka tetap terkait dengan pembayaran bunga (kebalikan dari pembagian laba dan rugi). Rekening investasi syariah biasanya ditawarkan dengan periode jatuh tempo yang telah disepakati sebelumnya.  Beberapa akun memungkinkan pelanggan untuk mengatur penarikan uang sebelum tanggal jatuh tempo selama ada pemberitahuan kepada pihak terlebih dahulu.

Demikianlah, berdasarkan setidaknya 5 jenis sumber dana, perbankan Islam bisa beroperasi sebagaimana layaknya perbankan konvensional. Sebagai muslim, sudah tepat kiranya jika kita melakukan transaksi keuangan melalui perbankan Islam. Tidak seperti pada masa awal, saat ini perbankan Islam telah dilengkapi dengan produk-produk perbankan yang bervariasi dan dapat memenuhi hampir seluruh keperluan kita. Baik untuk keperluan kelancaran bisnis, pribadi, dan investasi serta pembayaran yang menjadi kewajiban kita.

Sesungguhnya, bukan ini alasan utama kita menjadi nasabah perbankan Islam. Alasan utama adalah bagaimana kita bisa menghindari asset dan diri kita dari riba. Sejarah telah banyak kali membuktikan kehancuran suatu kaum, bangsa dan sebagainya yang diakibatkan oleh riba. Dan bagaimana Allah SWT telah mengharamkan riba tersebut atas kita. Harus diakui, penyempurnaan masih harus dan lebih massif dilakukan bahkan tidak sedikit entitas muslim yang memiliki pengalaman tidak memuaskan tatkala berhubungan dengan perbankan Islam. Namun itu semua tidak seharusnya dan serta merta membuat kita antipasti dan pesimis terhadap mekanisme perekonomian yang telah Allah SWT siapkan untuk kehidupan manusia.

Pilihan ada ditangan anda. Tinggal anda sendiri yang memutuskan mana yang menurut anda terbaik bagi kehidupan dunia dan akhirat. Setelah ini, kita akan kembali melanjutkan pembahasan tentang keuangan Islam dengan topic yang lain. Wallahu a’lam bi Ashowab.

 

Oleh: Sofiandi, Ph.D

Sumber: Berbagai literatur
Ilustrasi: commons.wikimedia.org

Posting Komentar untuk "APA MUNGKIN BANK ISLAM BISA BEROPERASI TANPA BUNGA…? KOK BISA...?"